A. Asal-Usul Manusia Pertama
Tentang
asal-usul manusia pertama Kabupaten Wakatobi terdapat berbagai macam
pandangan maupun sumber. Di daerah Wakatobi misalnya Kaledupa dikenal
cerita rakyat yang mengatakan bahwa mereka berasal dari keturunan dua
keluarga yaitu :
1. Sangia yiperopa serta isterinya Watoburia
2. Sangia yigola serta isterinya Wahanambaria1.
Di daerah Tomia tersebar cerita rakyat yang mengatakan bahwa penduduknya berasal dari beberapa suku antara lain :
1. Suku Ternate
2. Suku Butuni
3. Suku Bajo
4. Suku Mantigola
5. Suku Katabato (Mindanao Selatan)2
Di daerah Wangi-Wangi tersebar cerita rakyat bahwa penduduknya berasal dari beberapa suku antara lain :
1. Suku Melayu (semenanjung Johor)3
2. Suku Butuni
3. Suku Bajo
4. Maluku
Sedangkan asal-usul penduduk pertama di daerah Binongko menurut cerita dari orang tua berasal dari Kerajaan Buton, Kerajaan Sulu4 Philipina kemudian mereka menyebar ke daerah-daerah sekitarnya, mereka tinggal pertama kali di daerah Kaluku (Binongko).
Menurut
silsilah yang ada, di daerah Kaledupa terdapat pemerintahan raja-raja
dan juga terdapat cerita dari orang-orang tua/pemuka masyarakat yang
mengatakan bahwa manusia pertama yang mendiami daerah Wakatobi adalah
seorang laki-laki yang bernama La Tingku5.
Di daerah Wakatobi terdapat bermacam silsilah yang oleh peneliti menyimpulkan menjadi dua silsilah tertua yaitu :
1. Silsilah
yang berasal dari sumber Kaledupa menuturkan tiga puluh lima lapis
keturunan dimana terdapat nama-nama yang mirip dengan Tionghoa seperti
Ndio (Nio) yang merupakan penghormatan kepada wanita.
2. Silsilah
yang berasal dari sumber Binongko yang dimulai dengan La Barangka
dengan isterinya Bintang Wambenu menuturkan rangkaian keturunan sebanyak
kurang lebih dua puluh lima lapis.
Berdasarkan silsilah itu maka peneliti (penulis) menyimpulkan bahwa dua gelombang bangsa-bangsa yang datang di Wakatobi :
1. Gelombang dari Indochina ke pulau-pulau Filipina, Wakatobi, Butuni langsung ke Sulawesi Tenggara.
2. Gelombang bangsa Melayu dari Malaka – Sumatera – Jawa – Sunda Kecil – Maluku6.
B. Asal-Usul Penamaan Daerah-Daerah di Wakatobi
1. Wangi-Wangi
Sumber
luar negeri : istilah Wangi-Wangi diambil dari perilaku manusia pertama
yang menghuni negeri ini dengan jiwa suka memberi pertolongan yang
sangat membutuhkan perlindungan, dalam bahasa Mindanao – Sulu yaitu
bahasa “yakan” disebut Wangi-Wangi7.
Dalam
tradisi lisan, masyarakat Wangi-Wangi berasal dari sebuah benda dan
bila itu dipakai dalam upacara keagamaan dengan cara dibakar, maka bau
atau wanginya akan menyebar ke segala penjuru dunia. Dengan tradisi lisan seperti inilah orang Wangi-Wangi gemar merantau ke seluruh penjuru dunia.
2. Kaledupa
Dalam tradisi lisan, masyarakat Kaledupa ada beberapa pandangan atau versi yaitu :
a. Kaledupa
berasal dari kata “Kaedupa” sebagian masyarakat menyebut “kayudupa”.
Dalam tradisi lisan dikisahkan bahwa suatu ketika ada sekelompok
masyarakat menebas hutan untuk membuka lahan perkampungan. Di antara
pepohonan yang ditebang itu ada satu pohon yang unik dan mempunyai bau
harum, karena keunikannya kayu dijadikan bahan pengharum dan sering
dipakai dalam upacara keagamaan sehingga diabadikan menjadi sebuah nama
pulau yaitu Kaledupa.
b. Kaledupa
berasal dari pulau karang yang ditumbuhi oleh pohon. Pohon itu
berkembangbiak di atas pulau karang dan sangat istimewa yang mempunyai
bau harum, sehingga pulau karang ditumbuhi pohon itu diabadikan menjadi
nama pulau yaitu Kaledupa.
3. Tomia
Dalam
masyarakat Tomia yang mengetahui tradisi lisan mengemukakan bahwa Tomia
berasal dari dua kata yaitu : To artinya Tua (bahasa Bagobo) yaitu
bahasa-bahasa yang ada di Mindanao-Sulu dan Mia artinya manusia. Jadi,
Tomia diambil dari manusia tertua.
4. Binongko
Berdasarkan
tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Binongko mengemukakan
bahwa Binongko berasal dari kata binong artinya bercerai, tidak teratur
(bahasa Cebu) di Philipina dan ko artinya satu (bahasa Cebu). Jadi,
Binongko berarti penyatuan yang telah lama hilang. Mateo Bartoli
menyebut penyusunan kembali yang tidak teratur (1948 : 36) dengan
menyebutnya Binongko.
C. Penyelenggaraan Hidup
1. Pemenuhan Kebutuhan Hidup
Tentang
cara hidup manusia pertama, belum banyak diketahui, selain mereka masih
sederhana dengan makanan buah-buahan, umbi-umbian yang tumbuh dalam
hutan serta binatang hasil buruan mereka.
Di daerah ini, pemenuhan kebutuhan hidup primer tidak lain dari pada berburu, menangkap ikan dan meramu.
Di daerah ini pula hidup berkelompok berdasarkan mata pencaharian yaitu :
a. Kelompok
manusia yang kebiasaan hidupnya bercocok tanam di sebut “Hekoranga”.
Alat yang dipakai dan dibuat dari batu seperti kapak untuk menebang
pohon kayu, alat untuk menanam jagung dan umbi-umbian terbuat dari kayu
yang disebut “tutua” dan “yao”.
b.Kelompok
manusia yang kebiasaan hidupnya menangkap ikan disebut “parabala”.
Waktu itu sistem menangkap ikan masih dengan cara “noloo” yaitu menyelam
dalam air kemudian berusaha menangkap ikan dengan tangan, selain itu
mereka menggunakan tombak yang disebut “hepana”.
Untuk
keperluan rumah tangga, seperti perkakas tempat makan masih terbuat
dari kayu, tempat minum dari bambu yang dipotong-potong, dan tempat
memasak yaitu periuk belanga terbuat dari tanah liat8.
2. Perlindungan Terhadap Alam
Untuk
melindungi diri mereka terhadap bahaya alam yang sewaktu-waktu dapat
menyerang, biasanya mereka membuat rumah yang bertiang tinggi, bahkan
ada ide yang masih hidup di atas pohon yang besar dan tinggi. Berlainan
dengan di daerah Binongko hidupnya masih berpencar-pencar, maka di
daerah Tomia, Kaledupa dan Wangi-Wangi penduduknya sudah hidup secara
berkelompok dan tiap kelompok hidup dalam sebuah rumah besar yang
disebut “sapo tooge” untuk menjaga keamanan bila datang gangguan atau
serangan musuh agar dapat dihadapi bersama. Alat bangunan rumah terbuat
dari kayu dan bambu, sedangkan atapnya terbuat dari daun enau, daun
rumbia, daun woka dan daun alang-alang. Alat perkakas masih sangat sederhana, karena hanya terbuat dari batu dan kayu9.
3. Perpindahan
Pada
umumnya kehidupan mereka berpindah secara bergelombang baik
besar-besaran maupun kecil-kecilan. Perpindahan itu terjadi kira-kira
tahun 1500 – 500 SM dengan mempergunakan alat yang masih sederhana
seperti perahu yang disebut “koli-koli”10. Tentang alasan
mereka pindah, terdapat bermacam-macam sebab seperti kebengisan dan
penindasan dari pihak yang berkuasa, peperangan atau gangguan keamanan
lainnya, wabah penyakit ataupun karena tempat tinggalnya sudah tidak
subur lagi, sehingga terpaksa mencari tempat tinggal yang baru
memungkinkan kehidupan lebih baik. Disamping itu di daerah Kaledupa,
Tomia dan Wangi-Wangi terdapat juga perpindahan penduduk secara berjalan
kaki.
D. Organisasi Masyarakat
1. Pengaturan Masyarakat
Masyarakat
diatur secara kelompok di bawah pimpinan seorang ketua kelompok. Di
daerah Binongko, masyarakat terdiri dari dua golongan yaitu :
1. Pidoija yakni golongan masyarakat yang ingin menetap di suatu daerah tertentu.
2. Waraingka
yakni golongan masyarakat yang tidak menetap pada suatu daerah tertentu
melainkan ingin berpindah-pindah dari daerah yang satu ke daerah yang
lain.
2. Kepemimpinan
Di
daerah Tomia, Kaledupa dan Wangi-Wangi tiap-tiap kelompok dipimpin oleh
seorang ketua yang disebut “Laioro” dan dibantu oleh seorang pembantu
yang disebut “Kanine”. Ketua kelompok dipilih dan diangkat oleh anggota
masyarakat dan syarat ia seorang berwibawa dan mempunyai kekuatan sakti.
Di
daerah Binongko pemimpin suatu kelompok biasanya diambil dari
orang-orang yang gagah berani, cekatan, ahli berkelahi dan ahli perang
yang disebut “mosega”.
E. Kehidupan Seni Budaya
1. Pendidikan
Pendidikan
pada zaman prasejarah pada umumnya di daerah Wakatobi belum ada selain
pendidikan didalam keluarga dalam arti bahwa seseorang mengetahui
sesuatu melalui ibu, bapak ataupun kakak di dalam keluarga. Pendidikan
diluar keluarga hanyalah didapat melalui pengalaman dengan jalan melihat
ataupun mengalami sendiri sehingga dapat menjadi mahir dalam sesuatu
pekerjaan ataupun keterampilan tertentu misalnya berburu, menangkap
ikan, bertukang dan lain sebagainya. Untuk jenis pekerjaan semacam ini
sudah barang tentu diperlukan suatu keterampilan tertentu oleh seseorang
yang hanya didapatnya melalui keluarga maupun orang lain di luar
keluarga dan dengan sendirinya makin lama makin dapat ditingkatkan
sesuai dengan pengalamannya dan bakat serta daya kreasinya
masing-masing.
F. Alam Pikiran Dan Kepercayaan
1. Sistem Kepercayaan
Animisme
dan dinamisme merupakan sistem kepercayaan yang dianut oleh penduduk
pada masa itu, seperti kepercayaan terhadap laut, gunung, tanjung,
kolam, pohon dan tempat-tempat yang mengherankan atau mendahsyatkan,
mempunyai penghuni yang mereka sebut sangia. Sangia-sangia
ini ada yang baik dan ada pula yang jahat. Selain daripada itu
penghormatan kepada roh nenek moyang memegang peranan penting pula. Roh
nenek moyang ini pun ada yang baik dan ada pula yang jahat menurut
tabiatnya semasa hidupnya. Selanjutnya baik sangia-sangia maupun
arwah-arwah itu berpengaruh kepada orang yang masih hidup, sehingga
sangat ditakuti, maka kewajiban dari ompu-ompu untuk menjinakkan dan
melunakkan pengaruhnya (La Ode Abu Bakar, 1999 : 1, Wawancara 3 Maret 2005).
Oleh
karena itu sangia-sangia itu menguasai daerah-daerah seperti laut,
gunung, tanjung dan sebagainya maka kekuatan alam pun dapat dijinakkan.
Demikian pula atas gelombang, angin, topan dapat dijinakkan dengan
perantaraan sangia-sangia. Penganut animisme dan dinamisme ini disebut
“pahekombia”
Di
daerah Tomia dan Wangi-Wangi, animisme dan dinamisme masih merupakan
sebagian kecil penduduk pada masa ini. Mereka menganggap bahwa mendapat
kekuatan dan berkat dari roh yang mendiami gunung atau tempat-tempat
tertentu yang dianggap keramat, dan untuk itu mereka biasa mengadakan
upacara seperti :
1. “Belai”
upacara pembukaan hutan dimana “pakilola” seorang yang pandai melihat
bintang, pada waktu musim tanam sebagai pemimpin untuk membuka hutan,
mengadakan persiapan beberapa hari lebih dahulu untuk mencari ilham pada
waktu tidur dengan menyajikan sirih pinang, kapur, tembakau kepada roh
yang dianggap memberi berkat pada mereka. Sesudah upacara ini
dijalankan, barulah penebangan kayu yang pertama dikerjakan oleh
pakilola lebih dahulu.
2. “Pabisa”
pada waktu pabisa mengadakan penebangan pertama, maka pabisa harus
mengikuti syarat-syarat tertentu yaitu pergi menebang diam-diam sesuai
dengan ilham yang diperolehnya pada waktu pergi menebang sebatang kayu
sebagai penebang pendahuluan kapak harus digantungkan selama satu hari
dua puluh empat jam lebih dahulu. Bila
ternyata kapak jatuh, hutan tidak boleh dibuka, tapi bila kapak tetap
tergantung terus, maka hutan segera dibuka oleh masyarakat bersama-sama (La Ode Ali, Wawancara 15 April 2005).
2. Pandangan Tentang Kosmos
Dari
uraian tentang sistem kepercayaan jelas dapat dilihat suatu pandangan
tentang kosmos meskipun belum tersusun secara terperinci, apalagi secara
sistematis. Mereka sudah percaya adanya sesuatu kekuatan diri sendiri
(kekuatan gaib/sakti) dan sering mempengaruhi kehidupan mereka sendiri.
Di
daerah Binongko misalnya sudah ada kepercayaan akan suatu kekuasaan
yang tertinggi, sehingga timbullah kata-kata “tende difafonulangi” yang
berarti Dia yang di atas langit, mempunyai kekuasaan kepada alam
semesta”. Akan tetapi kebaktian atau upacara mereka beranggapan bahwa
tempat bersemayamnya adalah di pohon-pohon besar, batu-batu besar,
tanjung, kuburan dan lain-lain, oleh karena itu maka disitulah mereka
mengadakan upacara besar-besaran diiringi dengan keramaian seperti
nyanyian berisi pujian kepada tende difafonulangi agar dapat memberikan
berkat dan rahmat atas penyembahan dan pengobatan yang mereka lakukan,
menari diiringi dengan gonggong (La Ode Ahmadi, Wawancara 7 Agustus 2005).
Sesudah
upacara, mereka sangat takut kepada pantangan yang diajukan oleh petuah
adat seperti menebang kayu untuk ramuan rumah. Pangkalnya harus
diberikan sebagai pertanda supaya bila ditanam jangan sampai di tanah di
atas, sebab dapat menimbulkan bermacam-macam akibat pada penghuninya.
Saudara laki-laki tidak boleh menyentuh baju saudara perempuan dan
sebaliknya ataupun lewat dari bawah gantungan pakaian, lebih-lebih masuk
kamar tidur, karena dianggap suatu dosa. Kaum wanita tidak boleh
mengangkat bajunya sampai ke atas lutut meskipun melewati air, karena
harus mempertahankan kehormatannya. Dilarang
mencuci belanga (periuk) yang banyak arangnya dimuka pantai (air asin)
karena dianggap dapat mengakibatkan datangnya angin barat. Demikian juga
memandikan kucing yang berwarna putih maupun hitam pekat (beka mepa),
makan sambil berjalan dilarang karena dapat menimbulkan kerusakan pada
tanaman seperti habis dimakan tikus ataupun binatang hutan lainnya.
Apabila
mereka diserang penyakit maka obatnya ada bermacam-macam
tumbuh-tumbuhan baik akarnya maupun kulitnya. Disamping itu diucapkan
mantra-mantra atau semburan-semburan yang kata-katanya mohon pertolongan
kepada “Yang Maha Kuasa” agar penyakit itu sembuh. Sampai saat ini
pengobatan dan adat kebiasaan para orang tua ini masih ada yang
memakainya meskipun sebagian sudah tidak mempercayainya lagi karena
pengaruh agama yang datang kemudian.
Sumber :
1. Sangia diduga dari kata Sanghyang (penyembahan) sisa-sisa pengaruh agama Hindu di Nusantara.
2. Anonim, Siwupima Andaresta dalam SBF, 302 ) terjemahan S. Munir halaman 8.
3. Ibid.
4. Antila, Raimo, An Introduction to Historical and Comparative Linguistics, 1972 : 21.
5. Anonim, Siwupima Andaresta dalam SBF, 402 (Davao, Naskah, Bahasa Tagalog, t.t. terjemahan S. Munir halaman 20.
6. J. Resink, 1973, Negara-Negara Pribumi di Kepulauan Timur, Halaman 13, Jakarta.
7. Salah satu bahasa di Pulau Luzon Filipina.
8. Moskee, Encyclopedia van Nederlandsch-Indie, Leiden, 1902, halaman 14.
9. Oswald Spengler, Jahre der Entscheidung, Berlin, 1923, halaman 28.
10. Sejenis sampan yang terbuat dari kayu yang dipakai sebagai alat transportasi antar pulau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar